Dalam
perkuliahan filsafat matematika di semester ini, saya mendapat banyak
pengetauan dan manfaat dari perkuliahan ini. Sebelum belajar filsafat
seringkali kita berpikir bahwa filsafat itu hanyalah untuk orang-orang hebat. Seringkali
orang beranggapan bahwa filsafat merupakan suatu ilmu yang sangat tinggi, bahwa
apabila ada orang berbicara ada kata “Filsafat” pasti lawan bicara langsung
menaggapi bahwa “Bahasa tingkat tinggi”. Banyak orang juga yang akan mengatakan
bahwa dirinya tidak dapat atau tidak mampu berfilsafat. Kita seringkali tidak
menyadari bahwa dalam kehidupan kita, kita selalu berfilsafat hanya saja karena
kita tidak mengerti akan pengertian filfasat sehingga kita salah kaprah dalam
memaknai filsafat.
Secara
harafiah filsafat yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari
bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta)
atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi).
Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran.
Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian
pencinta kebijaksanaan. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok
orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa
dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi
yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab asal dan hukumnya.
Apabila
mencermati pengertian filsafat di atas, kita akan menemukan bahwa ternyata
filsafat itu sangat berkaitan erat dengan kehidupan. Segala sesuatu yang
terjadi dalam kehidupan dapat kita jadikan sebagai filsafat. Dari pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu olah pikir manusia. Jadi
setiap pemikiran manusia itu adalah filsafat sehingga tidak lain dan tidak
bukan filsafat itu adalah diri kita sendiri.
Memperhatikan
dari kehidupan kita, hal-hal yang kita lakukan mulai dari bangun pagi hingga
tertidur lelap, sessungguhnya filsaftat itu ada. Namun seringkali kita tidak
memperhatikan itu, yang kita tahu hanya sebatas melakukan dan menjalani
kehidupan ini tapa memaknai apa yang akan, sedang dan telah kita lakukan
sebagai rutinitas saja. Kita hanya mengingat kejadian itu tanpa mengambil makna
atau pembelajaran dari kehidupan itu. Yang kita tahu hanya peristiwa itu baik
atau buruk, menyenangkan atau menyedihkan. Bahkan kita tidak pernah tahu atau
mengingat apa yang telah kita lakukan.
Di
dalam filsafat tidak ada pangkal dan tidak ada ujung. Di dalam filsafat tidak
ada yang tidak mungkin, di dalam filsafat selalu berbicara mengenai yang ada
dan yang mungkin ada. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa filsafat merupakan
ilmu olah pikir, studi tentang fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan
kita. Filsafat tidak bisa kita dapatkan dari eksperimen atau percobaan, karena
filsafat itu sifatnya murni, tidak dibuat-buat, tidak ada yang mampu membuat
filsafat. Filsafat akan datang dengan sendirinya. Filsafat akan selalu menembus
ruang dan waktu, sehingga filsafat itu akan bersifat relatif, tidak ada tolok
ukur mengenai semua hal yang terjadi dalam kehidupan kita. Tidak ada yang dapat
membenarkan dan menyalahkan semua hal yang ada dan yang mungkin ada. Semua
bergantung bagaimana kita memikirkannya, dari sisi atau segi apa kita melihat
dan memikirkannya. Mengingat bahwa filsafat berbicara mengenai yang ada dan
yang mungkin ada maka, tidak ada yang dapat membatasi pikiran kita, sehingga
tidak ada yang bisa membatasi filsafat. Manusia itu mempunyai dimensi yang
lengkap, yaitu dimensi material, spiritual, formal, dan normatif.
Ruang
itu dibatasi, dimensi yang mudah yaitu dimensi nol, dimensi satu, dimensi dua,
dimensi tiga, dan yang lebih sulit yaitu dimensi empat, yang ruang awam mungkin
tidak dapat memikirkannya. Orang matematika dapat menyebutkan ruang sampel,
ruang acak, bangun ruang, dan sebagainya. Ruang dalam filsafat dapat meliputi
normatif, formal, material, spiritual, suami istri, anak, dosen, mahasiswa,
yang ada dan yang mungkin ada. Kemudian apa yang disebut dengan menembus,
misalnya dikenalnya diri kita di kampung
mempunyai kemampuan yg berbeda itu sebagai menembus ruang dan waktu secara
formal. Apa yang disebut dengan waktu? Imannuel Kant membagi waktu menjadi
tiga, yaitu waktu yang berurutan, berkelanjutan, dan berkesatuan. Untuk memahami
waktu kita membutuhkan ruang. Mengapa demikian? Dalam menunjukan waktu,
biasanya kita menggunakan jam, jam itulah sebagai ruang.
Filsafat,
terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM.
Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan
keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan
diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Orang
Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta,
sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar
tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato
sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”.
Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Filsafat
Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini
berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Filsafat
Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat,
terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’
masih lebih menonjol daripada agama.
Filsafat
Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari
sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan
ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).
Aliran-aliran
dalam filsafat
1.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah
filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala
pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas.
Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah
mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia. Sejak abad pencerahan, rasionalisme
diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika (Rasionalisme continental).
Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz, Socrates, Baruch Spinoza dan Spinoza.
2.
Empirisme
Empirisme adalah sebuah
orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern
dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat
terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran
empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam
membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan
demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan
Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama
tradisi empirisme.
3. Realisme
Dalam pemikiran
filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada
pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian
realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim
idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan
teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks
pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal,
yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan.
Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena
yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung. Tradisi
realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata
(realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia.
Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi
Kantianism fenonomologi sampai pendekatan structural.
4.
Idealisme
Idealisme adalah
tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas
eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan
kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih
dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi. Pandangan Plato bahwa
semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai
sumber dari pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis
demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan
materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi
gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya
berdasarkan materi dan fisik.
5.
Positivisme
Positivisme adalah
doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral
pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan
penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak
doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta
penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki
kehidupan manusia. Tokoh-tokoh
yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas
Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran
para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam
membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa
statistik.
6.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah
mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James,
John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi
pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang
menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari
realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan
ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia
sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu
pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Filsafat
Matematika
Berdasarkan
perspektif epistemologi, kebenaran matematika terbagi dalam dua kategori, yaitu
pandangan absolut dan pandangan fallibilis. Absolutis memandang kebenaran
matematika secara absolut, bahwa „mathematics is the one and perhaps the only
realm of certain, unquestionable and objective knowledge‟,
sedangkan menurut fallibilis mathematicak truth is corrigible, and can never
regarded as being above revision and correction‟
(Ernest, 1991).
Menurut
Woozley pengetahuan terbagi dalam dua kategori, yaitu pengetahuan a priori dan
pengetahuan a posteriori (empirical). Pengetahuan a priori memuat proposisi
yang didasarkan atas , tanpa dibantu dengan observasi terhadap dunia. Penalaran
di sini memuat penggunaan logika eduktif dan makna dari istilah-istilah, secara
tipikal dapat ditemukan dalam definisi. Secara kontras pengetahuan a posteriori
memuat proposi yang didasarkan atas pengalaman, yaitu berdasarkan observasi
dunia. Absolutis memandang pengetahuan matematika didasarkan atas dua jenis
asumsi; matematika ini berkaitan dengan asumsi dari aksioma dan definisi, dan
logika yang berkaitan dengan asumsi aksioma, aturan menarik kesimpulan dan
bahasa formal serta sintak. Ada lokal (micro) dan ada global (macro) asumsi,
seperti deduksi logika cukup untuk menetapkan kebenaran matematika. Menurut
Wilder (dalam Ernest, 1991), pandangan absolutis menemui masalah pada permulaan
permulaan abad 20, ketika sejumlah antinomis dan kontradiksi yang diturunkan
dalam matematika. Russel telah menunjukkan bahwa sistem yang dipublikasikan
Gottlob Frege tahun 1879 dan 1893 tidak konsisten. Kontradiksi lainnya muncul
dalah teori himpunan dan teori fungsi. Penemuan ini berakibat terkuburnya
pandangan absolutis tentang matematika. Jika matematika itu pasti dan semua
semua teoremanya pasti, bagaimana dapat terjadi kontradiksi di antara
teorema-teorema itu? Tesis dari fallibilis memiliki dua bentuk yang ekivalen,
satu positif dan satu negatif. Bentuk negatif berkaitan dengan penolakan terhadap
absolutis; pengetahuan matematika bukan kebenaran yang mutlak dan tidak
memiliki validitas yang absolut. Bentuk positifnya adalah pengetahuan
matematika dapat dikoreksi dan terbuka untuk direvisi terus menerus.
Aliran
dalam Matematika
Formalisme
Formalis
seperti David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah tidak
lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan
sebagai deretan permainan dengan rangkaian tanda –tanda lingistik, seperti
huruf-huruf dalam alpabet Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa
tanda seperti 2, II atau SS0. Pada saat kita membaca kadang-kadang kita
memaknai bacaan secara matematika, tetapi sebaliknya istilah matematika tidak
memiliki sebarang perluasan makna (Anglin, 1994). Formalis memandang matematika
sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan
pada kertas, yang mengikuti aturan (Ernest, 1991). Menurut Ernest (1991)
formalis memiliki dua dua tesis, yaitu
1.
Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
2.
Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan terbebasnya dari
ketidak konsistenan.
Ada
bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1) formalis dalam
memahami obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit,
padahal tidak bergantung pada obyek fisik; (2) formalis tidak dapat menjamin
permainan matematika itu konsisten. Keberatan tersebut dijawab formalis bahwa
(1) lingkaran dan yang lainnya adalah obyek yang bersifat material dan (2)
meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan kadang-kadang trivial,
tetapi yang lainnya tidak demikian (Anglin, 1994).
Intuisionisme
Intuisionisme
seperti L.E.J. Brouwer (1882-1966), berpendapat bahwa matematika suatu kreasi
akal budi manusia. Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental,
tidak akan ada apabila tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya
intuisionis menyatakan bahwa obyek segala sesuatu termasuk matematika,
keberadaannya hanya terdapat pada pikiran kita, sedangkan secara eksternal
dianggap tidak ada. Kebenaran pernyataan p tidak diperoleh melalui
kaitan dengan obyek realitas, oleh karena itu intusionisme tidak menerima
kebenaran logika bahwa yang benar itu p atau bukan p (Anglin,
1994). Intuisionisme mengaku memberikan suatu dasar untuk kebenaran matematika
menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari aksima-aksioma
intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode yang aman dalam
pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang eksklusifpada keyakinan
yang subyektif. Tetapi kebenaran absolut (yang diakui diberikan intusionisme)
tidak dapat didasarkan pada padangan yang subyektif semata (Ernest, 1991). Ada
berbagai macam keberatan terhadap intusionisme, antara lain; (1) intusionisme
tidak dapat mempertanggung jawabkan bahwa obyek matematika bebas, jika tidak
ada manusia apakah 2 + 2 masih tetap 4; (2) matematisi intusionisme adalah manusi
timpang yang buruk dengan menolak hukum logika p atau bukan p dan mengingkari
ketakhinggaan, bahwa mereka hanya memiliki sedikit pecahan pada matematika masa
kini. Intusionisme, menjawab keberata tersebut seperti berikut; tidak ada dapat
diperbuat untuk manusia untuk mencoba membayangkansuatu dunia tanpa manusia;
(2) Lebih baik memiliki sejumlah sejumlah kecil matematika yang kokoh dan ajeg
dari pada memiliki sejumlah besar matematika yang kebanyakan omong kosong
(Anglin, 1994).
Logisisme
Logisisme
memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya antara lain
G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R.
Carnap(1931). Pengakuan Bertrand Russell menerima logisime adalah yang paling
jelas dan dalam rumusan yang sangat ekspilisit. Dua pernyataan penting yang
dikemukakannya, yaitu (1) semua konsep matematika secara mutlak dapat
disederhanakan pada konsep logika; (2) semua kebenaran matematika dapat
dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika
semata (Ernest, 1991). Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap
logisisme antara lain:
1.
Bahwa pernyataan matematika sebagai impilikasi pernyataan sebelumnya, dengan
demikian kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa
menyatakan benar atau salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak
semua kebenaran matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
2.
Teorema Ketiddaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup
untuk mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi
yang sukses mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuik
menurunkan semua kebenaran matematika.
3.
Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji
dan tidak dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan
matematika dan merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak
menyediakan suatu dasar tertentu untuk pengetahuan matematika.
Dari uraian di atas terlihat bahwa
matematika berkaitan erat dengan filsafat. Matematika sangat membutuhkan logika
dalam berpikir belajar matematika tanpa adanya logika tidak akan mampu
menyelesikannya. Belajar matematika juga sangat membutuhkan kerativitas dan
berpikir kritis. Namun saat ini seringkali intuisi siswa yang telah direbut
oleh guru, karena guru mengajar hanya lah memberi materi dan rumus tanpa
mengajarkan atau memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri rumus
itu diperoleh. Mungkin alasan guru melakukan itu hanyalah untuk mengejar ujian
akhir nasional. Pada ujian akhir nasioanal yang dibutuhkan hanyalah jawaban
yang benar tanpa mempedulikan bagaiaman siswa dapat memperoleh jawaban itu,
sehingga guru hanya menjejali siswa dengan rumus-rumus. Guru menganggap bahwa
awal menemukan langkah atau rumus itu tidaklah penting. Sehingga kreativitas
siswa sangat kurang berkembang. Berbeda dengan pendidikan luar negeri yang
sangat menghargai hasil karya siswa di sekolah. Kurikulum di Indonesia pun
nampak tidak memperhatikan kemampuan siswa, pemerintah kurang memperhatikan
kurikulum tersebut apakah layak dan pantas
untuk diterapkan pada pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang mudah
sekali berubah sangat menyulitkan guru dan siswa dalam pembelajaran. Di laur
negeri setiap siswa berhak ikut menentukan kurikulum yang digunakan di sekolah
karena kurikulum di luar negeri menggunakan kurikulum satuan pembelajaran
sehingga setiap guru, setiap matapelajaran dan bahkan setiap materi mempunyai
kurikulum yang berbeda.